Suamiku
adalah tipe orang workaholic jika
sudah bekerja bisa jadi lupa segalanya. Lupa makan, lupa tidur, lupa kalau di
rumah itu ada anak istri dan lain-lain. Untung ya punya istri seperti aku yang
super cerewet mengingatkan. Setiap saat setiap menit sering sms atau
menelponnya sekedar mengingatkan.
“Ayah,
sudah makan?”
“Ayah sudah sholat?”
“Ayah sudah minum
obat?”
Bahkan
tidak jarang aku menyuapinya saat dia sedang mengerjakan pekerjaan kantor di
rumah. Karena sudah waktunya makan tetapi belum makan juga, padahal sudah saya
siapkan di piring lengkap dengan lauk dan sayur berkuah. Jika tidak segera
dimakan, nasi jadi melar tidak enak. Sampai anak-anakku bertanya kepadaku,
“Mama, ayah sudah besar
kok makannya masih disuapi?”
“Iya Kak, mama kan
sayang ayah..” suamiku menimpali dengan mulut masih
penuh nasi dan kedua tangannya sibuk mengetik diatas keybord laptop.
Meskipun
kadang aku merasa cemburu dengan pekerjaannya, aku merasa diduakan tetapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa karena itu memang sudah menjadi tuntutan pekerjaan. Disisi lain aku juga bangga
mempunyai suami dengan dedikasi yang tinggi. Dan sering mendapatkan penghargaan
prestasi kerja yang baik dari atasannya.
Jika
dia sedang dinas luar kota, akulah ibu dan bapak bagi anak-anakku. Semua
pekerjaan yang biasa kami kerjakan berdua, kini ku kerjakan sendiri karena kami
tidak pernah mempunyai seorang pembantu. Mulai dari antar jemput kakak ke
sekolah maupun bimbel. Kadang tengah malam harus berobat ke dokter karena si
kecil mendadak sakit deman dan diary. Dalam kondisi hujan deras ku gendong
kakak di belakang dan adik di depan, langkahku terseok-seok membawa beban dua
tubuh bocah yang tidak ringan. Tangan kananku membawa payung, menembus tabir
hujan dan dinginnya malam menuju jalan raya untuk naik bajaj.
Demi
mereka aku bisa tegar dan kuat menjalaninya, aku tidak mau terlambat membawa
adik ke dokter karena penyakitnya. Meskipun sebenarnya hati ini menjerit, aku
berusaha tersenyum didepan mereka. Ya, selama perjalanan ke dokter suamiku
terus menanyakan kabar kami via sms, bisa ku rasakan begitu cemasnya dia di sana.
Tapi tidak bisa berbuat apa-apa, jarak yang begitu jauh karena sedang menjalani
dinas di Aceh selama satu minggu dan aku di Jakarta hanya dengan kedua putri
kecilku. Tak ada satupun saudaraku atau orang tua yang tinggal di Jakarta,
tetanggapun kami tidak begitu akrab karena memang baru pindah dinas dari
Sampit.
Sesekali
ku lihat wajah adik dalam balutan selimut yang ku dekap di dada, badannya
deman, wajahnya pucat dan matanya kelihatan cekung. Sementara sang kakak
sesekali mengeluh kalau punggungnya basah oleh air hujan, karena payung yang
kami pakai tidak bisa melindungi dengan sempurna.
Suamiku,
tahukah kamu? Meskipun bayak hal yang bisa ku lakukan sendiri tanpamu. Tetapi
tetap ada hal-hal yang tidak bisa ku lakukan sendiri jika aku sedang rindu
padamu. Rindu akan belaian dan kasih sayangmu, rindu akan peluk dan kecup
ringan bibirmu. Aku tidak bisa melakukan itu semua sendiri tanpamu. Oleh karena
itu, aku perlu rentang pelukmu, aku butuh bahumu untuk bersandar ketika lalah
mendera, aku butuh penawar dari semua rindu yang ada.
Ku
akui kami tidak pernah sedikitpun kekurang dalam hal materi, tetapi kami begitu
haus akan peluk dan belai kasihmu, kami rindu kebersamaan yang dulu pernah
terbina dengan indah. Tidak..tidak seperti saat ini dimana engkau lebih sibuk
dengan pekerjaan dan semua gadgetmu.
Saat
dalam kereta api perjalanan pulang kampung pun dia masih sibuk bekerja dengan
laptopnya. Sesekali mengangkat telepon yang tak henti-hentinya berdering dari
HP satu dan yang lainnya. Di dalam tas ransel suamiku yang selalu dibawa kemana-mana
itu ada dua unit laptop, dua unit ipad dan tiga unit handphone. Aku pernah
mengangkatnya bergemingpun tidak, sungguh berat. Bahkan disaat hari liburpun
dia masih lembur di kantor, tidak
adakah sedikit waktu buat kami?
Ku
coba bicara baik-baik kepadanya hasilnya sama saja, tidak ada perubahan
sedikitpun. Hatiku semakin menangis, kami merasa semakin jauh saja dengannya.
Sedih jika kakak bertanya
“Mama
kapan ayah pulang?”
Aku
tidak pernah menjawabnya, namun langsung ku telponkan suamiku biar kakak bertanya
langsung kepada ayahnya. Dan jika sudah begitu sang kakak tidak pernah lagi
bertanya kapan ayah pulang sampai suamiku pulang.
Jika
aku sedang ingin bercerita banyak kepadanya, semua kutuangkan dalam coretan dan
seolah-olah aku sedang bercakap dengannya. Karena bila sedang di telpon dan
ingin bicara banyak pun, seringnya telponku di akhiri dengan halus.
“Maaf ya Mama, ayah
sedang ada rapat. Nanti ayah telpon balik”
Sesekali
ku tag dia via note di facebook atau kadang ku email semua coretan isi hatiku
yang sedang marah, sedih, rindu atau sekedar cerita-cerita kecil tentang
perkembangan anak-anak yang dia belum tahu.
Ini
sedikit kutipan note di facebooku untuk dia yang aku dapat dari fanpage La Tahzan.
Jangan jadikan aku
istrimu, jika nanti setelah seharian bekerja kamu tidak segera pulang dan
memilih bertemu teman-temanmu. sedang seharian aku sudah begitu lelah dengan
cucian dan setrikaan yang menumpuk dan aku tidak sempat bahkan untuk menyisir
rambutku, anak dan rumah bukan hanya kewajibanku karena kamu menikahiku bukan
untuk jadi pembantu tapi pendamping hidupmu dan jika boleh memilih aku akan
memilih mencari uang dan kamu di rumah saja sehingga kamu akan tahu bagaimana
rasanya.
Jangan jadikan aku
istrimu, jika nanti kamu lebih sering di kantor dan berkutat dengan pekerjaanmu
bahkan di hari Minggu daripada meluangkan waktu bersama keluarga. Aku memilihmu
bukan karena aku tahu aku akan hidup nyaman dengan segala fasilitas yang bisa
kamu persembahkan untukku Harta tidak pernah lebih penting dari kebersamaan
kita membangun keluarga karena kita tidak hidup untuk hari ini saja. Dan
seterusnya.
Setelah
membaca note itu, suamiku sedikit berubah. Pulang lebih awal dan sering makan
siang di rumah. Di hari Minggu mengajak kami rekreasi. Tetapi sayang hal ini berlangsung
hanya beberapa bulan saja. Sisanya sampai hari ini seperti sebelumnya, sering
pulang malam. Membawa pekerjaan kantor ke rumah dan lain-lain yang menyita
banyak waktunya hingga tidak tersisa buat kami.
Doa
dan harapku tidak pernah kering di bibir agar suamiku seperti dulu yang pintar
membagi waktu antara pekerjaan, kuliah dan keluarganya. “Kami menyayangimu Ayah..”
***
Baca kisah menarik lainnya dalam buku "Harapku Untukmu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar