Selasa, 15 Oktober 2013

Si Workaholic


 
Suamiku adalah tipe orang workaholic jika sudah bekerja bisa jadi lupa segalanya. Lupa makan, lupa tidur, lupa kalau di rumah itu ada anak istri dan lain-lain. Untung ya punya istri seperti aku yang super cerewet mengingatkan. Setiap saat setiap menit sering sms atau menelponnya sekedar mengingatkan.

            “Ayah, sudah makan?”

“Ayah sudah sholat?”

“Ayah sudah minum obat?”

Bahkan tidak jarang aku menyuapinya saat dia sedang mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Karena sudah waktunya makan tetapi belum makan juga, padahal sudah saya siapkan di piring lengkap dengan lauk dan sayur berkuah. Jika tidak segera dimakan, nasi jadi melar tidak enak. Sampai anak-anakku bertanya kepadaku,

“Mama, ayah sudah besar kok makannya masih disuapi?”

“Iya Kak, mama kan sayang ayah..” suamiku menimpali dengan mulut masih penuh nasi dan kedua tangannya sibuk mengetik diatas keybord laptop.

Meskipun kadang aku merasa cemburu dengan pekerjaannya, aku merasa diduakan tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa karena itu memang sudah menjadi tuntutan  pekerjaan. Disisi lain aku juga bangga mempunyai suami dengan dedikasi yang tinggi. Dan sering mendapatkan penghargaan prestasi kerja yang baik dari atasannya.

Jika dia sedang dinas luar kota, akulah ibu dan bapak bagi anak-anakku. Semua pekerjaan yang biasa kami kerjakan berdua, kini ku kerjakan sendiri karena kami tidak pernah mempunyai seorang pembantu. Mulai dari antar jemput kakak ke sekolah maupun bimbel. Kadang tengah malam harus berobat ke dokter karena si kecil mendadak sakit deman dan diary. Dalam kondisi hujan deras ku gendong kakak di belakang dan adik di depan, langkahku terseok-seok membawa beban dua tubuh bocah yang tidak ringan. Tangan kananku membawa payung, menembus tabir hujan dan dinginnya malam menuju jalan raya untuk naik bajaj.

Demi mereka aku bisa tegar dan kuat menjalaninya, aku tidak mau terlambat membawa adik ke dokter karena penyakitnya. Meskipun sebenarnya hati ini menjerit, aku berusaha tersenyum didepan mereka. Ya, selama perjalanan ke dokter suamiku terus menanyakan kabar kami via sms, bisa ku rasakan begitu cemasnya dia di sana. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa, jarak yang begitu jauh karena sedang menjalani dinas di Aceh selama satu minggu dan aku di Jakarta hanya dengan kedua putri kecilku. Tak ada satupun saudaraku atau orang tua yang tinggal di Jakarta, tetanggapun kami tidak begitu akrab karena memang baru pindah dinas dari Sampit.

Sesekali ku lihat wajah adik dalam balutan selimut yang ku dekap di dada, badannya deman, wajahnya pucat dan matanya kelihatan cekung. Sementara sang kakak sesekali mengeluh kalau punggungnya basah oleh air hujan, karena payung yang kami pakai tidak bisa melindungi dengan sempurna.

Suamiku, tahukah kamu? Meskipun bayak hal yang bisa ku lakukan sendiri tanpamu. Tetapi tetap ada hal-hal yang tidak bisa ku lakukan sendiri jika aku sedang rindu padamu. Rindu akan belaian dan kasih sayangmu, rindu akan peluk dan kecup ringan bibirmu. Aku tidak bisa melakukan itu semua sendiri tanpamu. Oleh karena itu, aku perlu rentang pelukmu, aku butuh bahumu untuk bersandar ketika lalah mendera, aku butuh penawar dari semua rindu yang ada.

Ku akui kami tidak pernah sedikitpun kekurang dalam hal materi, tetapi kami begitu haus akan peluk dan belai kasihmu, kami rindu kebersamaan yang dulu pernah terbina dengan indah. Tidak..tidak seperti saat ini dimana engkau lebih sibuk dengan pekerjaan dan semua gadgetmu.

Saat dalam kereta api perjalanan pulang kampung pun dia masih sibuk bekerja dengan laptopnya. Sesekali mengangkat telepon yang tak henti-hentinya berdering dari HP satu dan yang lainnya. Di dalam tas ransel suamiku yang selalu dibawa kemana-mana itu ada dua unit laptop, dua unit ipad dan tiga unit handphone. Aku pernah mengangkatnya bergemingpun tidak, sungguh berat. Bahkan disaat hari liburpun dia masih lembur di kantor, tidak adakah sedikit waktu buat kami?

Ku coba bicara baik-baik kepadanya hasilnya sama saja, tidak ada perubahan sedikitpun. Hatiku semakin menangis, kami merasa semakin jauh saja dengannya. Sedih jika kakak bertanya

 “Mama kapan ayah pulang?”

Aku tidak pernah menjawabnya, namun langsung ku telponkan suamiku biar kakak bertanya langsung kepada ayahnya. Dan jika sudah begitu sang kakak tidak pernah lagi bertanya kapan ayah pulang sampai suamiku pulang.

Jika aku sedang ingin bercerita banyak kepadanya, semua kutuangkan dalam coretan dan seolah-olah aku sedang bercakap dengannya. Karena bila sedang di telpon dan ingin bicara banyak pun, seringnya telponku di akhiri dengan halus.

“Maaf ya Mama, ayah sedang ada rapat. Nanti ayah telpon balik”

Sesekali ku tag dia via note di facebook atau kadang ku email semua coretan isi hatiku yang sedang marah, sedih, rindu atau sekedar cerita-cerita kecil tentang perkembangan anak-anak yang dia belum tahu.

Ini sedikit kutipan note di facebooku untuk dia yang aku dapat dari fanpage La Tahzan.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti setelah seharian bekerja kamu tidak segera pulang dan memilih bertemu teman-temanmu. sedang seharian aku sudah begitu lelah dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk dan aku tidak sempat bahkan untuk menyisir rambutku, anak dan rumah bukan hanya kewajibanku karena kamu menikahiku bukan untuk jadi pembantu tapi pendamping hidupmu dan jika boleh memilih aku akan memilih mencari uang dan kamu di rumah saja sehingga kamu akan tahu bagaimana rasanya.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu lebih sering di kantor dan berkutat dengan pekerjaanmu bahkan di hari Minggu daripada meluangkan waktu bersama keluarga. Aku memilihmu bukan karena aku tahu aku akan hidup nyaman dengan segala fasilitas yang bisa kamu persembahkan untukku Harta tidak pernah lebih penting dari kebersamaan kita membangun keluarga karena kita tidak hidup untuk hari ini saja. Dan seterusnya.

Setelah membaca note itu, suamiku sedikit berubah. Pulang lebih awal dan sering makan siang di rumah. Di hari Minggu mengajak kami rekreasi. Tetapi sayang hal ini berlangsung hanya beberapa bulan saja. Sisanya sampai hari ini seperti sebelumnya, sering pulang malam. Membawa pekerjaan kantor ke rumah dan lain-lain yang menyita banyak waktunya hingga tidak tersisa buat kami.

Doa dan harapku tidak pernah kering di bibir agar suamiku seperti dulu yang pintar membagi waktu antara pekerjaan, kuliah dan keluarganya. “Kami menyayangimu Ayah..”
 
***
Baca kisah menarik lainnya dalam buku "Harapku Untukmu"
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar