Spesifikasi buku sebagai berikut :
Judul : Antara Aku dan Dia
Pengarang : Muhammad Dede Firman – Nira Kunea, dkk
Ukuran : 14 cm x 20 cm
Tebal : vi + 166 hlm
Harga : 40.000
SINOPSIS :
Nea
Ya. Aku menyukainya. Lelaki yang bernama Andy itu. Bukan karena dia tampan, ataupun kaya, tetapi lebih kepada chemistry yang aku rasakan ketika aku berada di dekatnya. Seharusnya, dia tahu kalau aku menyukainya.
Lewat pertanda yang kuberikan padanya.
Caraku menatapnya. Caraku berbicara padanya.
Memang, aku sering bersikap lain kepada orang yang aku suka. Bukan jaim, tapi sepertinya memang lebih kepada salting. Jantungku bisa tiba-tiba berdebar keras sekali saat berada di sampingnya. Ada rasa yang bergelenyar hangat di dalam hati. Rasa yang membuatku nyaman.
Namun, ada satu hal yang belakangan baru aku sadari. Dia ternyata masih memanggilku kakak.
***
Andy
Kakak.
Entah mengapa, ada yang sedikit janggal dengan kata itu. Mungkin, aku menganggapnya begitu karena aku terlalu ingin menambahkan embel-embel ‘sayang’ di belakangnya.
Kakakku sayang.
Ah, seandainya itu bisa jadi nyata. Aku tidak tahu apakah dia juga suka padaku atau tidak. Memang, sebagai seorang laki-laki, aku terlalu pengecut untuk menyatakan cinta terlebih dahulu.
Aku takut kalau dia tidak menerimaku.
Sebagai seorang laki-laki, aku tergolong orang yang sulit untuk memberi pertanda kalau aku suka padanya. Selama ini, aku hanya bisa tersenyum saat bertemu dengannya. Merasakan nikmatnya debaran di jantungku saat aku bersamanya.
Mengiriminya pesan.
Memberinya perhatian ….
Tapi, apakah itu sudah cukup untuk memberinya pertanda, kalau aku suka dengannya?
Bagaimana kalau sebuah cerpen ditulis oleh dua orang? Sulit gak sih? Bagaimana hasilnya? Baca buku ini dan lihat karya-karya mereka.
Cinta Diam
By : Danang Kurniawan & Zulzilah Arth
SLTP N 6
SEMARANG, disinilah pertama kali aku melihatnya dalam satu kelas yang sama
yaitu 1F, kira-kira tahun 1994. Dari segi prestasi memang aku bisa dibilang lumayan
cerdas, buktinya meskipun aku berasal dari SD di kampung (Solo, Sukoharjo) aku
bisa masuk di SLTP N 6, salah satu SLTP favorite di Semarang. Dia biasa
dipanggil Danang, dia tergolong siswa pandai,
selalu mendapat peringkat pertama selama 6 tahun duduk dibangku SD. Sedikit
kontras denganku, yang hanya berjuang dengan nilai rata-rata kelas saja.
Kehadirannya mampu
mengusik hatiku, rambutnya yang tebal dan indah, yah..aku benar-benar terpesona
dengan rambutnya yang anggun melindungi otak cerdasnya, itulah awal aku naksir
dia. Inilah cinta pertamaku, muncul dibangku SLTP kelas satu. Dia suka duduk di
baris kedua dari depan, mudah saja bagiku untuk memilih tempat agak lebih
dibelakangnya, supaya aku bebas mencuri pandang tanpa sepengetahuannya. Aku,
mulai menjadi pengagum setianya. Aku, ingin selalu bisa di dekatnya.
Sejak saat itu
aku bagaikan detektif yang sedang memata-matai mangsa. Aku selalu ingin tahu
apa saja yang dia kerjakan di sekolah seperti, kegiatan ekskul apa saja yang
dia ikuti. Bahkan aku beranikan diri bertanya pada guru olahragaku yang
terkenal killer, apalagi terhadap murid yang kurang pandai berolahraga seperti
aku, demi mencari informasi ini. Segala hal tentangnya menjadi penting bagiku. Warna
favoritenya, yang belakangan aku tahu ‘ungu’, warna yang kurang lazim disukai
oleh cowok menurutku, hobbynya, yang ternyata membaca komik seperti adikku yang
paling kecil, jadwal dia datang dan pulang sekolah sudah kuhafal. Pokoknya
semua tentang dia harus kuketahui. Kenapa harus begitu? Karena aku cinta. Dan
cinta itu mulai bersemi dihatiku, tanpa sepengetahuannya. Aku sudah berhasil mendapatkan
nomor telepon rumahnya tapi aku tidak berani untuk menghubungi, meskipun sudah
berdiri di depan telepon umum koin waktu menelpon teman-teman, giliran menekan
nomor teleponnya begitu berat mengerakkan jari-jari ini, seperti mati rasa saja.
Beku.
Aku benar-benar
terpesona olehnya. Aku suka cara dia mengangkat tangan sebelum menjawab
pertanyaan yang diberikan oleh guru biologiku. Entah hanya perasaanku saja atau
gayanya memang elegan, ibarat sniper dia seperti sedang mengokang senapan siap
menghabisi lawannya. Aku kagum cara dia menjawab pertanyaan, ekspresinya tenang
dan santai namun bisa menjawab dengan benar. Aku senang memperhatikan cara dia
mengerjakan soal-soal matematika dipapan tulis. Tiap maju untuk menjawab soal
di papan tulis dia tidak berbekal catatan apapun seolah-olah dia terlahir untuk
menjawab soal itu, dengan tangan kiri disaku celananya adalah khas gayanya yang
sering membuatku tersenyum. Aku suka
cara dia mengejar bola basket, dribble, seolah-olah bola itu ibarat bagian dari
tangannya, begitu lekat sehingga begitu sulit bagi lawan untuk merebutnya dan kemudian
dengan mudahnya dia berhasil memasukkan
bola itu kedalam ring basket karena posturnya yang cukup tinggi, 182cm. Akibat
hobby basketnya itu beberapa kali kacamata minusnya pecah kena bola atau mungkin
terjatuh saat bertabrakan dengan lawan, memang meski tinggi dia termasuk kurus dibandingkan
semua lawannya yang tegap dan besar.
Meskipun aku
tidak suka basket, karena ada dia, aku jadi suka memperhatikan anak-anak ekskul
basket karena ingin melihat dia tanding atau sekedar latihan. Aku sendiri
memilih paskibra yang kebetulan jadwalnya bareng sama basket. Setiap selesai
latihan paskibra kadang aku sengaja pura-pura berlama-lama dilapangan agar
terus bisa melihatnya entah sekedar membetulkan tali sepatu, membereskan
peralatan atau apa sajalah asal bisa memandangnya lebih lama, asal bisa di
dekatnya lebih lama. Dari sinilah aku tahu kalau dia selalu pulang paling
terakhir untuk berlatih sendiri. Ini moment terbaik yang selalu kutunggu, hanya
ada dia, aku dan bola basket dilapangan luas menjelang sunset. Itulah
kebersamaan kami.
Kuperhatikan
semuanya tak luput sedikitpun dari pengawasanku. Dan hasilnya aku makin jatuh
cinta saja sama dia si empunya pemilik rambut bagus, kulit putih, hidung
mancung, mata sipit, bibir tebal seksi dan otaknya yang cemerlang. Mungkin ini
yang membuat dia makin banyak ‘penggemar’,
makin bikin aku cemburu, makin membuatku mengubur lebih dalam cintaku. Aku
sadar, aku bukan satu-satunya penikmatnya. Aku cukup tahu diri. Aku tetap diam
dalam cinta dan cemburu ini. Biarlah kusimpan sendiri sambil berharap suatu
saat benang waktu yang akan menterjemahkannya. Sekarang, cintaku cukuplah
kubungkus dalam diam kuikat dengan pita doa. Hanya aku, Tuhan dan tinta pena
dalam diaryku saja yang tahu. Aku diam dalam sadarku, aku hanyalah salah satu
dari puluhan pungguk yang merindukan cahaya rembulan dari dia.
◦○◌☼◌○◦
“Mamaaah...!!
Sini Mah, coba lihat...!!,” sebuah teriakan gadis muda membuyarkan kenanganku.
Segera kurapikan peralatan makan yang sedang kusiapkan, masih dengan sedikit
senyum. Ah..masih saja aku teringat hal itu. Bergegas aku menuju asal suara
itu.
Dari sela-sela jendela depan,
kulihat ada sesosok bidadari kecil. Sambil perlahan kunikmati wajahnya. Cantik.
Aku tertegun di pintu rumahku, terkesiap. Bayangan cinta diam yang telah lama
kubungkus itu terkuak kembali. Paras wajahnya, agak kabur, tapi aku yakin itu
pasti dia. Jantungku bergetar.
“Mamah, ayo Mah.
Lihat itu Mah...!,” kembali suara itu menyeruak. Semakin mengaburkan bayangnya,
beralih menjadi halaman depan rumahku. Kulihat bidadari kecil itu masih berada
di tempatnya. Wajahnya riang. Seriang melati di tetes hujan pertama kali.
Sesekali meloncat-loncat kecil kegirangan.
Aku merasa
tanganku terseret, sedikit terhuyung. Ada yang menarikku. Satu lagi bidadari
menggamit tanganku. Setengah berlari menarikku. Aku berhasil menjaga keseimbanganku.
Kuputuskan untuk mengikuti saja kemauannya. Pelan kuikuti kemana tarikan itu
membawaku. Di belakang kudengar langkah-langkah kecil. Ternyata bidadari kecil
yang pertama setengah berlari mengikutiku. Seperti memastikan agar aku tidak
berusaha melarikan diri, “Apa mau dua makhluk ayu ini?,” pikirku. Mereka
membawaku ke samping rumahku. Langkah kami pelan-pelan terhenti. Tanganku sudah
dilepaskan, tapi aku tak hendak melangkah pergi. Entah kenapa, aku ingin tahu
alasan mereka membawaku kesini. Aku penasaran, apa yang berani membuyarkan
kenanganku. Kulihat mereka celingukan. Seperti ada yang hilang. Aku masih belum
hendak untuk beranjak.
Sesaat kemudian
semuanya gelap. Ada yang menyergapku dari belakang. Aku bisa merasakan makhluk
ini jauh lebih besar dari dua bidadari itu. Sekilas kudengar tawa kecil mereka.
Setengah tertahan. “Jebakan.!!” Aku benar-benar tak menyangka. Kucoba untuk
berontak, tapi terlambat, satu tangannya berhasil mengunci pergerakan kedua
lenganku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Kini aku dipaksa mengikutinya, aku
berjalan mundur, kebalikan dari datangku tadi. Aku merasa dibawa masuk ke suatu
bangunan, aku tahu ini karena sengatan panas matahari tidak kurasakan lagi di
kulitku. Perlahan, kurasakan tanganku mulai bisa bergerak. Lengannya mengendur.
Siluet-siluet cahaya berebutan masuk ke kelopak mataku. Kukerjap-kerjapkan
mataku. Dia melepaskan tangannya dari wajahku. Sekilas, kulihat ada yang
menarik perhatianku di telapak tangan itu. “Cincin pernikahanku!!” Aku yakin
itu. Darimana dia mendapatkannya, heranku. Kuraba jari manis tangan kananku,
masih ada. Kelegaan mulai menghampiri batinku. Ditambah telah bebas dari gelap,
makin meningkat keberanianku. Masih kudengar tawa bidadari-bidadari kecil itu.
Awas pikirku, kalian yang menjebakku. Tapi kutahan dulu niatku. Mudah saja
mengurus mereka nanti. Aku mulai memikirkan apa yang harus kuperbuat dengan
sosok yang menyergapku. Kurasakan dia masih berdiri diam di belakangku.
Akhirnya nekat, kupaksakan diriku untuk berbalik.
“Wajah itu...!!,
bukan...ini bukan bayangan ini. Ini lebih jelas. Ini nyata..!!,” Otakku
berputar, jantungku berdegup kencang. Dia harusnya tidak berada di sini. Tidak
mungkin.
Perlahan dia mendekatiku sambil
angkat bicara, “Selamat Ulang Tahun, Cin...,” kecupannya mendarat di keningku.
Kecupan yang hangat dan berat. Kecupan yang benar-benar membawa seluruh
kesadaranku kembali. Lututku melemas, semua hal ini terlalu bertubi-tubi. Tapi
aku tidak terjatuh, tangan yang tadinya menyergapku, kini tangan ini yang
membantuku. Perlahan mendudukkanku. Tangan itu, tangannya..!! jadi...
keterkejutanku hanya dibalas senyuman olehnya. Senyumannya yang membawaku
kembali ke dunia nyata. Aku yakin aku sudah membungkus cinta diam ku. Rapi,
sangat rapi. Kecupan itu, senyuman itu...bukan...itu bukan cinta diamku. Itu
cinta sejatiku. Kubalas senyumannya. Belum sempat kubalas kecupnya, dua
bidadari kecil tadi sudah memburuku dengan kecupan di masing-masing pipiku.
“Selamat Ulang Tahun Mamah...” kupandang ke kiri dan kanan. Kualihkan
pandanganku kembali ke depan. Kali ini aku tahu apa yang harus kulakukan untuk
membalas perbuatannya tadi. Aku juga yakin pasti dia otak dari semua kejadian
ini. Dia selalu menggunakan kecerdasannya untuk mengejutkanku. Kujulurkan kedua
lenganku memeluknya. Kubelai rambut hitamnya, yang selalu membuatku kagum
dengan keindahannya Kukecup pipinya. Sebagai ucapan terima kasihku. Aku tahu
itu belum cukup, tapi aku yakin dia cukup paham bahwa aku benar-benar bahagia.
Dia memang cinta
sejatiku. Bukan cinta diamku. Ungu bukan warna favoritnya, tapi itu warna
favorit kami. Aku tak perlu menghafal lagi kapan dia berangkat dan pulang,
karena pasti aku yang kini mengantar dan menyongsongnya. Dia bukan orang yang
aku tak punya keberanian untuk menelpon dulu, tapi dia orang yang tidak
membiarkanku menelponnya. Ya, karena dia selalu mendahuluiku. Dia bukan pemain
basket yang gesit, tapi dia cukup gesit untuk seringkali membuatku terkejut.
Bahagia. Dia bukan cinta diamku. Cinta diamku masih terbungkus rapi. Hanya
saja, pita doa itu sudah tidak berada di tempatnya lagi. Tuhan mengabulkan
doaku. Menjadikanku selalu dekat dengannya, menjadikannya suamiku. Plus,
mungkin sebagai bonus atas kesabaranku menunggu selama hampir sepuluh tahun,
Tuhan juga memberiku dua bidadari kecil, putri-putriku. Cinta diamku, tetaplah
cinta diam. Sekarang, aku sudah cukup dengan cinta sejatiku saja.