“Iya
Ma, cepat sembuh ya” jawab Anton sambil menyuapkan nasi ke mulut Ratri
“Terima
kasih Pa, ingin rasanya segera melihat putra kita”
“Sabar
Ma, dia sedang di ICU.
“Gimana
kondisinya Pa?”
“Adi
semakin membaik”
“Adi, jadi nama bayi kita Adi Pa?”
“Iya
ma, aku memberinya nama Bagus Abadi. Menurut Mama?”
“Apapun
pilihan papa, mama setuju saja Pa”
“I
love you ma” ucap Anton sembari mengcium punggung tangan Ratri yang penuh jarum infus.
“I
love you too Pa” balas Ratri sambil mengusap kepala Anton
***
“Bagaimana
keadaan istri saya Dok, kapan boleh pulang?”
“Kesehatan
istri bapak sudah membaik, besok sudah boleh pulang”
“Syukurlah.
Tapi Dok kenapa tadi saat perban matanya dibuka, tidak ada reaksi terhadap cahaya
senter yang diarahkan?”
“Itulah
Pak yang akan saya sampaikan. Istri Bapak mengalami kebutaan karena memaksakan
diri melahirkan secara normal dengan kondisi mata minus yang tinggi”
“Ya
Tuhan, jadi istri saya buta? Tidak bisakah disembuhkan lagi?”
“Selama
menangani kasus seperti ini, selama ini pula belum ditemukan obatnya Pak”
Anton
begitu terpukul mendengar vonis tersebut, dia belum tahu bagaimana menyampaikan
berita itu kepada Ratri, wanita yang sangat dia cintai melebihi apapun hingga
dia rela mengorbankan apapun demi kebahagiaan istrinya.
***
“Pa, papa ya?” tanya Ratri saat mendengar pintu kamarnya berderit
“Pa, papa ya?” tanya Ratri saat mendengar pintu kamarnya berderit
“Iya
Ma, maaf papa masuk tanpa mengetuk pintu”
“Ah
papa...tidak apa lagi, memangnya bik Inah harus mengetuk pintu segala” jawab
Ratri setengah bercanda.
Ada
bulir hangat menetes dipipi Anton saat melihat senyumnya yang begitu manis,
namun dia harus menatap gelap semua isi dunia.
“Jadi
kalau bik Inah harus mengetuk pintu ya?” tanya Anton sambil mendekatkan
bibirnya ditelinga Ratri setengah mencium mesra dan menyembunyikan sebongkah
kesedihan yang dalam.
“Pa
kenapa mama tidak bisa melihat? Mama ingin melihat Adi, melihat saat dia
menangis. Tidak hanya mendengar dan merabanya saja.
“Guggg”
serasa ada tangan raksasa yang meninju dada Anton hingga membuatnya sesak dan
susah bernafas karena pertanyaan itu. Namun begitu, Anton tetap berusaha untuk
bersikap tenang dihadapan istrinya.
“Sabar ya Ma, nanti kalau obatnya sudah habis.
Mama juga bisa melihat lagi”
Oek..oek..oeeek... terdengar
tangisan bayi dari samping kamar mereka
“Pa,
Adi menangis...aku ingin megendongnya, tolong ambilkan Adi untukku”
“Tenang
saja Ma, mungkin sedang dimandikan bik Inah habis mandi biasanya tidur.
***
Hari
berganti, minggu berlalu, bulan demi bulan Anton lalui dengan terus
bersandiwara dihadapan Ratri tentang kebutaan dan hal lainnya. Anton tidak
berani, tidak tega menyampaikan berita yang sesungguhnya karena tidak ingin
membuat Ratri terpukul dan hampir gila seperti kehamilan-kehamilan sebelumnya
yang selalu gagal karena rahimnya begitu lemah.
“Selamat
pagi mama, saatnya mompa ASI?”
“Eh
papa, mengejutkan saja, kok papa yang membantu mama mompa ASI. Bik Inah mana?
“Bik
Inah sedang nyuapi Adi. Nah habis makan biasanya Adi minum ASI kan. Kali ini
kata Adi mau ASI yang fresh dari mama, tidak mau yang dari frezzer hehe..”
“Ooo
begitu ya, jadi Adi sudah bisa ngomong. Eh papa kok tidak kerja?”
“O
iya..anak papa kan hebat. Iya ma, papa ambil cuti.
“Oh..terima
kasih Pa”
“Kembali
kasih mama sayang” jawab Anton sambil mulai memompa ASI istrinya bergantian
dari payudara kanan dan kiri.
“Pa, kalau memang Adi mau ASI yang fresh dari
mama kenapa mama tidak pernah diijinkan untuk menyusui Adi”
“Emm...anu
itu Ma, menurut dokter kalau mata mama sudah bisa melihat lagi baru boleh
menyusui Adi”
“Kenapa
begitu Pa?”
“Maaf
Ma, papa juga tidak tahu. Pasti dokter punya alasan sendiri dan semua demi
kebaikan mama dan Adi”
“Pa,
mama ingin menyusui Adi, ingin merasakan hisapan bibir mungilnya”
“Baiklah,
kalau itu keinginan mama”
***
“Bik
Inah mana Adi?”
“Maaf
Tuan, aku telah menghanyutkan mumi bayi itu dan membakar semua kaset tangisan
bayi palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar